Nguri-uri Bahasa Jawa

Menjadi Master of Ceremony (MC) maupun memberikan kata sambutan mungkin sudah biasa aku lakukan sejak masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Blora. Mulai dari acara IPNU, IRMAS maupun kegiatan kepemudaan yang lain. Yang jelas meskipun acara-acara tersebut di desa, berhubung acaranya anak-anak muda, maka bahasa yang dipakai adalah bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Meskipun sebagai seorang jawa, dan lahir dari orang tua yang sudah mengajarkan bahasa jawa sedemikian rupa sejak kecil dan terbiasa berbicara dengan bahasa jawa krama, akan tetapi  jika diminta jadi Pranoto Acoro (MC) ataupun memberikan kata sambutan tetap saja gak berani takut salah, hehehehe


Harus kuakui jika kebiasaan berbahasa Jawa krama semakin pudar saat aku kuliah di Semarang tepatnya di IAIN Walisongo Semarang mulai tahun 2001. Karena bertemu dengan berbagai teman dari berbagai daerah, ada yang dari Tegal, Brebes, Pemalang (pantura barat) yang ngomong pakai bahasa ngapak, dari daerah Jawa Barat yangs esekali pakai bahasa sunda, dan banyak lagi teman yang lain yang ngomong dengan logatnya masing-masing. Akan tetapi kebanyakan agar sama-sama paham akhirnya sehari-hari sering menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi berbeda aku alami saat tahun 2005 dimana saat itu aku harus menjalani salah satu program wajib dari kampus yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di daerah Kecamatan Grabag Magelang. Tahu dong, Magelang sebelahan dengan Yogyakarta, secara cara ngomong serta logatnya jelas gak jauh beda yaitu menggunakan bahasa jawa halus, dan terkadang juga menggunakan bahasa jawa krama. Maka, mau tidak mau aku dan tema-teman satu tim yang mendapatkan tempat di desa Baleagung Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang juga harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, lebih-lebih aku sebagai Koordinator rombongan posko 26.

Kurang lebih selama satu setengah bulan (45 hari) kegiatan KKN berlangsung, selama itu pula, secara tidak langsung aku kembali mengalami masa-masa dimana aku harus bisa menggunakan bahasa ibu, yaitu bahasa jawa yang selama ini menjadi bahasa keseharian di kampung halaman. Apalagi di Magelang bahasa Jawanya lebih halus lagi, sehingga dari sana aku juga belajar memperhalus bahasa jawa yang selama ini aku gunakan. Bahasa jawaku saat itu semakin  terasah karena sebagai koordinator sering diminta mengisi pengajian di dukuh-dukuh desa Baleagung, meskipun dengan bahasa jawa halus yang tidak begitu lancar, akan tetapi pengalaman itu semakin membuatku sadar, betapa bahasa ibu (Bahasa Jawa) harus senantiasa di uri-uri (dilestarikan), jika tidak maka lama-kelamaan tentu akan hilang.

Bahkan saat menjelang program KKN berakhir, aku secara khusus diminta oleh salah satu warga yang punya hajat menghitankan anaknya, supaya aku bersedia memberikan mauidoh hasanah (ceramah). Meskipun pada awalnya aku menolak, karena ternyata sohibul hajat sebenarnya sudah mengundang salah satu Kyai Pimpinan Pondok Pesantren di daerah Tegalrejo Magelang, selain itu aku merasa belum fasih berbahasa jawa halus ketika menghadapi banyak orang. Akan tetapi karena dipaksa oleh sohibul hajat dengan dalih sebagai kenang-kenangan, maka aku akhirnya juga  mau mengisi ceramah sebelum sang Kyai yang sesungguhnya memberikan petuah-petuahnya.

Dan pengalaman paling tak terlupakan setelah aku KKN di daerah Magelang tentu saja saat aku dipaksa untuk jadi MC pengajian dalam rangka pernikahan salah satu sahabat yang ku kenal baik saat aku masih KKN di daerah Grabag pada tahun 2008 yang lalu. Meskipun aku sudah lama tidak berkunjung ke daerah dimana aku KKN, akan tetapi komunikasi dengan warga disana terutama pemudanya masih lancar. Saat itu aku diberi opsi oleh sahabat tersebut, mau menjadi pranoto acoro (MC) atau mau jadi penceramahnya. Aku bilang mau jadi tamu undangan saja mas, tapi dia memaksa, supaya aku menjadi MC saja sekaligus dolan karena sudah lama aku tidak dolan ke sana, warga sudah kangen katanya.

Sehari sebelum hari H aku datang ke Grabag, dengan maksud sama ingin menghormati pernikahan sahabatku tersebut. Setelah sampai dirumah sahabatku tersebut, sekali lagi aku dipaksa untuk jadi MC, aku menolak dengan alasan gak bisa bahasa jawa alus, akan tetapi sohibul hajat tetap memaksa, akhirnya aku memberikan pilihan, mau jadi MC asal pakai bahasa Indonesia, sahabat tersebut bilang "njeh mboten wangun to mas" (tidak pantas mas) karena acanya bukan dikota. Akhirnya dengan penuh keterpaksaan aku menyanggupi permintaan sahabat tersebut untuk jadi MC dengan berbahasa jawa krama, sebisaku meskipun dalam perjalanannya lancar namun kata para warga desa disana masih dengan revisi..hehehhehe.

Direvisi, karena setelah selesai acara, banyak bapak-bapak warga Desa Baleagung menilai aku sudah bagus saat menjadi pranoto acoro (MC) cuma bahasa jawanya masih campuran, hehehhehe...kritikan tersebut tentu sangat berarti bagiku, karena sejak itu aku menjadi sadar bahwa mempelajari bahasa Jawa yang notabenenya merupakan bahasa ibu merupakan sesuatu yang wajib dan harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana mempelajari bahasa Inggris pada saat ini. Namun yang pasti, salah satu keistimewaan bahasa Jawa adalah sarat akan nilai-nilai filosofis.Oleh sebab itulah salah satu hal yang harus dilakukan oleh semua orang Jawa adalah mencintai bahasa Jawa dan menggunakannya dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.


"Postingan ini diikutsertakan di Aku Cinta Bahasa Daerah Giveaway"

Post a Comment