Hubungan Filsafat dan Agama



I.      Pendahuluan
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.

Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Anselm[1] dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion"  mengungkapkan kalimat yang menarik berbunyi: Saya beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan menjadi: jika saya tidak beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa Anselm meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Ini artinya terdapat hubungan yang tak bisa dipisahkan antara filsafat dan agama.
Selain itu sebagian pemikir Islam juga memandang bahwa antara agama dan filsafat terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat[2]. Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan. Dari sana jelas bahwasanya antara filsafat terdapat keterkaitan satu dengan yang lain.

II.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pengertian Filsafat
2.      Pengertian Agama
3.      Hubungan antara Filsafat dan Agama

III.      Pembahasan
Sebagaimana dalam rumusan masalah di atas, maka dalam pembahasan ini akan dibahas hal-hal sebagai berikut:
1.      Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan  yang telah diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Jadi ada benarnya saat Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu[3]. Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain. 
Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia[4].
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani.. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia: Persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia: kebijaksanaan). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution  kedua  kata tersebut  setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan. Sedangkan orang Arab memindahkan kata Yunani  philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah  atau filsaf[5].
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada  hanya adalah kata hikmah.  Pada umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksa-naan[6], sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah[7]. Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan  pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Diantara tokoh yang memberikan definisi tentang filsafat diantaranya adalah: Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia itu? Jawabnya Antropologi[8]
Jujun  S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[9] Sedangkan Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka[10].
Kattsoff mengemukakan bahwa filsafat, ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas  yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam. Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya[11].
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial,  politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat agama.    

2.      Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja religare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi lain menyebutkan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia[12]. Dalam hal ini ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.
Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia[13]. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Selain itu dalam al-Quran  terdapat kata din  yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang. Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun  banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada  orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini[14].
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu[15]. Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah[16].
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridhai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia[17].
Sehingga jika dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Setelah diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya hubungan filsafat dan agama. Sehingga Harun Nasution mengemukakan adanya filsafat agama yang memiliki pengertian berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas.

3.      Hubungan Filsafat dan Agama
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat dan agama adalah dua pokok persoalan yang berbeda, namun memiliki hubungan. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, sedangkan filsafat seperti yang dikemukakan di atas bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya.
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan fil-safat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan[18]. Sehingga dalam hal ini hubungan filsafat dengan agama adalah agama sebagai objek kajian filsafat.
Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek fisik. Aspek fisik itu sebenarnya sudah menjadi pembahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat.  Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain[19]. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 
Sedangkan para tokoh Islam juga berpendapat adanya hubungan antara filsafat dan agama. Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat (agama) senantiasa bersama, sebagaimana  syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai, dan harmonis"[20]. Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab al-Amad 'ala al-Abad, juga menyatakan, "Akal mempunyai kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu.
Cakupan kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa pesan-pesan Tuhan[21]. Hal itu menunjukkan jika filsafat dan agama terdapat hubungan yang saling terkait satu dengan yang lainnya.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat terhadap agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan agama dengan kacamata filsafat bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika[22]. Sehingga dari sanalah diketahui bahwa terdapat hubungan erat antara filsafat dan agama.


IV.      Kesimpulan
1.      Kesimpulan
Dari penjelasan uraian di atas tentang filsafat dan agama, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Pengertian filsafat sebagaimana mengutip yang disampaikan Ir. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Artinya filsafat merupakan proses pencarian kebenaran yang dilandaskan pada kemampuan akal.
b.      Pengertian agama sebagai yang jelaskan oleh Sidi Gazalba bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
c.       Hubungan filsafat dengan agama adalah saling terkait. Kaitan antara filsafat dan agama adalah agama merupakan salah satu objek kajian filsafat dalam rangka memperoleh kebenaran yang bersumber dari akal (logika).

2.      Penutup
Demikian makalah ini disusun, tentu masih banyak kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi perbaikan penyusunan makalah-makalah yang lain di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi semua, khususnya pagi penulis. Amien.










DAFTAR PUSTAKA


Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua.

Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad.


Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994.


H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.


Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.


------------------,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979, cet. ke-1.


Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995.


Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.


Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985.


Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978.


[1] St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog dan filosof abad pertengahan, ia berkebangsaan Italia dan kemudian tersohor setelah ia merumuskan argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi Tuhan.  
[2] Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr, hlm. 28.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994, hlm. 8.
[4] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986, hlm. 9
[5] Ibid.
[6] Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 7.
[7] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983, hlm. 9.
[8] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  9.
[9] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995, hlm. 25.
[10] Ibid.
[11] Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67.
[12] Harun Nasution,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979, cet. ke-1, hlm. 9.
[13] Ibid, hlm. 10.
[14] Ahmad Tafsir, Op.cit, hlm. 7.
[15] Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 103
[16] Ibid, hlm. 101
[17] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985,  hlm. 8.
[18]  Dardiri, op. cit., hlm.  13
[19] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  19.
[20] Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua, hlm. 15
[21] Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hlm 87.
[22] Harun Nasution, Op.cit, hlm. 10

Post a Comment