Pesantren Masa Depan


I.      Pendahuluan
Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa anggota keluarganya. Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan dan melestarikan ajaran tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. 

Menurut Nurcholish Madjid, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia(indigenous ) sebab lembaga yang serupa pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha. Dalam hal ini, para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga tersebut.
Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yang tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu, dalam ranah nasional maupun internasional. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[1]
http://pesantrenmandiri.com/wp-content/uploads/2012/02/gontor.jpg
Ponpes modern Gontor, gambar dari sini
 
Seiring dengan perkembangan zaman di era teknologi informasi dan kemajuan iptek yang semakin tidak terbendung lagi, pesantren sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, harus senantiasa melakukan pengembangan, terutama di bidang manajemen dan kurikulum pendidikan. Pengembangan pesantren tentu tidak terlepas dari adanya pelbagai kendala yang harus dihadapi. Dewasa ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren[2].
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan “bisnis” pendidikan. Tetapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya akeh sing ora iso ngaji. Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.

II.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Pesantren dan Ruang Lingkupnya!
2.      Bagaimana Pesantren Masa Depan?

III.      Pembahasan
1.      Pesantren dan Ruang Lingkupnya
a.      Pengertian Pesantren
Pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama. Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu HA Timur Jailani memberikan batasan pesantren adalah gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel.  Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Selanjutnya Zamaksari Dhofir memberikan batasan tentang pondok pesantren yakni sebagai asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal terbuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata funduk atau berarti hotel atau asrama. Perkataan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri[3].
Sehingga dapat dikatakan bahwa Pondok Pesantren atau Pesantrena merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.

b.      Komponen Pesantren
Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen kiai, santri, masjid, pondok dann kitab kuning. Berikut ini pengertian dan fungsi masing-masing komponen yaitu :
1)      Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awalnya pondok tersebut bukan semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi juga sebagai tempat latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.
Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong royong sesame warga pesantren. Perkembangan selanjutnya, pada masa sekarang pondok tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
2)      Masjid
Dalam konteks ini, masjid adalah sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsure pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruanganruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasahmadrash. Namun demikian, masjid masih tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian pesantren masjid juga berfungsi sebagai tempat I’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi[4].
3)      Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok :
v Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
v Santri kalong; ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
4)      Kiai
Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena kiai menjadi salah satu unsure yang paling dominant dalam kehidupan suatu pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahliah dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Gelar kiai biasanya diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri.
5)      Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan peantren dengan lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islamklasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning, yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan[5].

2.      Bagaimana Pesantren Masa Depan
Memasuki abad ke-21, yang sering disebut sebagai zaman modern, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya warisan faktor politik Hindia Belanda[6]. Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tetapi, sebelum datangnya modernisme, pesantren justru merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Seiring keinginan dan niatan luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat.
Pada tahap selanjutnya hingga sekarang ini, pondok pesantren mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah baik secara formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan yaitu:
a.       Mulai akrab dengan mitodologi ilmiah modern.
b.      Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka pada perkembangan diluar dirinya
c.        Difersifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantunganpun absolut dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan diluar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan dilapangan kerja
d.      Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat[7]
Kecenderungan-kecenderungan tersebut bukan berarti pondok pesantren telah menduduki posisi sebagai lembaga yang paling elit, tetapi ditengah-tengah arus perubahan sosial-budaya justru kecenderungan tersebut menjadi masalah baru yang perlu dipecahkan yaitu :
1)      Masalah integrasi pondok pesantren kedalam sistem pendidikan nasional.
2)      Masalah pengembangan wawasan sosial, budaya, dan masalah ekonomi.
3)      Masalah pengalaman kekuatan dengan pihak-pihak lain untuk mencari tujuan membentuk masyarakat ideal yang diinginkan.
4)      Masalah berhubungan dengan keimanan dan keilmuan sepanjang yang dihayati pondok pesantren[8]
Dipihak lain, pondok pesantren kini mengalami transportasi kultur, sistem dan lainnya. Pondok pesantren yang dikenal dengan “Salafiah” kini telah berubah dengan menjadi “Khalafiah’. Tranformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan kepada pesantren dalam arus tranformasa kini sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis[9].
Sehingga untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.
Terkait hal ini, Saifuddin Amir (2006) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang sedang dan akan dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peran pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di pelosok. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat[10]. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. Dan itulah paling tidak ciri-ciri pesantren masa depan.

IV.      Kesimpulan
1.      Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustadz, santri dan pengurus pondok pesantren hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai-nilai agama Islam lengkap dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitarinya.
b.      Komponen pesantren biasanya terdiri dari: Pondok, Santri, Kyai, Masjid, dan Kitab-kitab Islam klasik (salaf).
c.       Pesantren masa depan biasanya memiliki kecenderungan diantaranya: Mulai akrab dengan mitodologi ilmiyah modern, semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, adanya difersifikasi program dan kegiatan makin terbuka, dan dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.

2.      Penutup
Demikian makalah ini disusun, tentu masih banyak kekurangannya. Untuk itu kritik dan saran senantiasa penulis harapkan demi perbaikan dalam menyusun makalah-makalah lain di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi semua, khususnya pagi penulis. Amien.





DAFTAR PUSTAKA


A Halim Fathani Yahya, Boarding School dan Pesantren Masa Depan, dalam  http://masthoni.wordpress.com/2009/06/14/boarding-school-dan-pesantren-masa-depan/


Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985)


Karim Rusli M, Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), hlm. 13


Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam dan Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya ( Bandung: Trigenda Karya, 1993).


Rusli Karim M, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Tranformasi Sosial-Budaya dalam Muslih   Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm.134


Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3.


Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 44


[1]  Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3.
[2] A Halim Fathani Yahya, Boarding School dan Pesantren Masa Depan, dalam  http://masthoni.wordpress.com/2009/06/14/boarding-school-dan-pesantren-masa-depan/ 
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 44
[4] Ibid, hlm. 136.
[5] Ibid.
[6] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985)
[7] Rusli Karim M, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Tranformasi Sosial-Budaya dalam Muslih   Usa (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm.134
[8] Karim Rusli M, Dinamika Islam di Indonesia, Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), hlm. 13
[9] Muhaimin, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam dan Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya ( Bandung: Trigenda Karya, 1993).
[10]  A Halim Fathani Yahya, Op.cit.

Post a Comment