Mengevaluasi Kegiatan MOS



Belum genap dua minggu proses kegiatan belajar mengajar pada tahun ajaran baru 2013/2014 dimulai, dunia pendidikan kembali tertimpa masalah. Kali ini masalah yang mengemuka adalah seputar pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Adalah Anindya Ayu Puspitasari (16), siswi SMK I Pandak, Kabupaten Bantul yang tewas akibat mendapat hukuman scoth jump dari panitia.


Meskipun hingga saat ini kebenaran kejadian tersebut masih diperdebatkan karena pihak sekolah mengatakan bahwa Anindya meninggal bukan saat MOS tetapi saat latihan Paskibra, akan tetapi kejadian tersebut tetap harus menjadi pelajaran bagi sekolah yang bersangkutan maupun sekolah yang lain agar lebih berhati-hati saat melaksanakan kegiatan orientasi bagi siswa baru.

 Secara konsep MOS merupakan salah satu sarana yang baik dan ideal untuk mengenalkan siswa baru terhadap lingkungan sekolah yang baru, baik itu pengenalan tehadap para guru dan karyawan, teman, serta lingkungan belajarnya. Akan tetapi menjadi tidak benar apabila MOS justru digunakan sebagai wahana bagi pihak yang tak bertanggungjawab untuk melakukan kekerasan terhadap siswa baru.

Lebih parah lagi jika kegiatan MOS diserahkan sepenuhnya kepada siswa yang lebih senior, hal tersebut biasanya akan menimpulkan praktek perpeloncoan. Meskipun saat ini sudah ada instruksi dari Kemdikbud bahwa yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan MOS adalah guru, akan tetapi dalam praktekknya masih banyak sekolah-sekolah yang memberikan kewenangan penuh pelaksanaan MOS kepada siswa senior. Kesempatan inilah yang biasanya manfaatkan oleh beberapa siswa senior untuk melakukan perpeloncoan kepada adik kelasnya yang masih baru.

Diakui atau tidak hingga saat ini masih banyak sekolah yang melaksanakan MOS tanpa memperhatikan sisi nilai-nilai humanisme. Penulis melihat sendiri saat pertama kali mulai masuk sekolah tahun ajaran 2013/2014 kemarin banyak sekali siswa baru baik SMP maupun SMA yang berpakaian dengan ornamen yang bermacam-macam. Ada yang membawa tas kardus, topi dari koran, rambut diikat dengan pita merah-putih, dan lain sebagainya. Hal tersebut jika diperhatikan dengan seksama menimbulkan kesan bahwa sekolah mempermalukan siswa barunya dengan dandanan yang lucu.

Adalah hak sekolah untuk membuat aturan bagi siswa-siswinya yang baru, akan tetapi jika aturan tersebut justru membuat peserta didik kurang nyaman tentu saja tidak dibenarkan. Bagaimanapun juga MOS adalah langkah awal bagi siswa baru untuk mengenal lingkungan sekolahnya, akan lebih baik jika MOS dilaksanakan tanpa ada embel-embel menggunakan atribut yang aneh-aneh. Penulis yakin hal tersebut lebih humanis dan akan membuat siswa baru lebih nyaman.

Selain itu pengisi kegiatan MOS hendaknya diisi langsung oleh para guru dan pejabat sekolah, hal tersebut untuk menghindari terjadinya praktek perpeloncoan kepada siswa baru. Sementara siswa senior atau yang duduk dijajaran OSIS sebaiknya dilibatkan namun dalam hal-hal yang sifatnya teknis saja bukan sebagai pengisi kegiatan. Karena dalam hal ini guru lebih paham apa yang dibutuhkan oleh siswa baru, sehingga menjadi kurang tepat jika masa orientasi siswa baru justru didominasi oleh siswa senior.

Post a Comment